Indonesia Sebenarnya Butuh Apa? (Opinotes #2)

Hai Semuanya,
Akhir-akhir ini, kejadian demi kejadian yang ada di Indonesia membuat jiwa gue tergerak, khususnya bagaimana cara pandang gue, untuk bisa menilai apa yang terjadi dari hasil observasi secara menyeluruh dan empiris (gaya banget). Tapi ini beneran, gue akan coba senatural dan senetral mungkin merespons melalui tulisan, supaya lebih komprehensif untuk dilihat.
Sejauh ini, post-post yang gue tulis itu dalam bahasa inggris, bukan tanpa sebab, ini semua gue lakukan karena dulu gue punya target untuk bisa dibaca oleh kawan-kawan yang ada di luar Indonesia, karena gue punya kolega dari Southeast Asia juga, e.g. Philippines, Malaysia, Singapore, dll, sehingga gue berpikir mungkin alangkah baiknya ditulis dengan bahasa inggris, sekalian belajar write-up juga ceritanya. Tetapi, untuk postingan ini akan gue tulis khusus dan mungkin akan menjadi satu-satunya post dalam Bahasa Indonesia "versi tongkrongan", agar mudah dicerna oleh pengunjung setia situs ini seantero Indonesia (mudah-mudahan ada, ya). Dan tidak menutup kemungkinan juga ini akan gue buat jadi 2 versi, di mana versi Englishnya yang akan menyusul nantinya.
Post ini bakalan jadi Opinotes (Opinion Notes) panjang, dan gue mau mulai dulu di sini. Mungkin gue nggak seekspresif yang lainnya, karena gue gak suka FOMO, karena gue lebih suka nulis apa adanya sebagai ekspresi kegundahan gue di situs ini.
(Disclaimer: Untuk Media yang ingin mengutip, tolong banget nih kasih credit)
Awalan Dulu
Apa sih yang sebenernya terjadi, dan kenapa penting banget buat kita semua bisa belajar?
Ini semua berawal dari statement abang ini: TB Hasanuddin, beliau dari Fraksi PD—peeeeep. Silakan dilihat saja video short di bawah ini:
https://jurnalis.org/terungkap-gaji-anggota-dpr-lebih-dari-100-juta-ini-kata-tb-hasanuddin
Mungkin ada beberapa orang, yang belum tau kalau beliau lah yang nge-spill pertama kali. Statement yang beliau berikan menjadi sebuah pertanyaan besar, Kenapa? Ya karena kok tiba-tiba DPR nggak ada angin, nggak ada ujan bisa ada kenaikan tunjangan, dan anehnya kita semua nggak tau soal ini, alias nggak ada flow transparansi dari awal untuk diinformasikan ke publik. Untungnya bang TB Hasanuddin ini berbaik hati nge-spill semuanya pas awal agustus lalu (kalau dari beberapa sumber di tanggal 12 Agustus 2025).
Gue jadi berpikir, ternyata DPR kita sukanya emang ngasih surprise, jadi kita bisa melihat dunia Indonesia jauh lebih seru dari apa yang pernah dibayangkan.
Analisa Gembel gue soal housing:
Dari video tadi, intinya kalau ada anggota DPR tidak dapat housing, itu di exchange menjadi uang, alias "cair bos", nambah gede lagi gaji DPR yang tidak dapat Rumah Dinas. Misalnya, tunjangan Housing itu kan awalnya rumah aja, bukan uang, tapi sekarang jadi uang sejumlah 50 juta rupiah. Kalau gitu, secara logika, karena ada beberapa DPR yang nggak pake Rumah Dinas, bisa aja ini menimbulkan masalah internal juga, ada sebuah hole di situ, yang implikasinya ada possibility majority dari anggota DPR malah jadi nggak ambil Rumah Dinasnya dong? Mending pada milih cair aja nggak, sih?
Ya dibuktiin dari sumber yang gue akan kasih di bawah, jadi Sekretariat Jenderal DPR, Indra Iskandar, mengatakan anggota DPR periode 2024-2029 nggak akan lagi menempati rumah dinas di Kalibata, Jakarta Selatan maupun rumah dinas di Pos Pengumben, Ulujami, Jakarta Barat.
Btw gue mau coba kasih liat Rumah DPR yang ada di kalibata dan pos pengumben:

Jadi rumah itu dibangun dari tahun 1988, dari sumber ini: https://www.bbc.com/indonesia/articles/c756vw1wndeo
Ada 50% rumah (150-180an, gue nggak dapet datanya) yang rusak, katanya. Apa iya? Silakan berkomentar. Jadi mereka juga udah diskusi ke Kemenkeu, "Apakah possible bisa dikasih anggaran ke kita untuk renov "tipis-tipis"?," tanya DPR.
Walaupun tipis tapi gue rasa juga besarannya pasti gede juga sih.
"Ternyata, nggak ada anggarannya nih kosong dompet gue," jawab Kemenkeu.
Apakah bener? Gue melakukan perhitungan matematis sederhana, gue dapet info dari sini kalau biaya maintenance itu 24 juta rupiah per tahun per unit.
Jumlah Housing:
- Kalibata: 300 unit Rumah
- Ulujami: 100an unit Rumah
- Total available: 400an unit
- DPR members: 580 people
- Shortage: 180 member yang nggak ada housing
Potretan Maintenance vs Allowance:
- Maintenance (400 units, selama 5 tahun): Rp48 Miliar
- Additional kalau ditambah Shortage allowance (180 members, 5 tahun): Rp540 Miliar, total jadi 588 Miliar
- Housing allowance (580 members, selama 5 tahun): Rp1.7~ Triliun
Total kompensasi mungkin similar value-wise, tapi kalau maintenance (24 juta per tahun) lebih murah 36x daripada full-allowance 50 juta perbulan, secara logika mereka, DPR jadi milih yang allowance aja, lah. Nah ini serunya, mungkin ada beberapa anggota yang tergiur, itu aja. Jadi sebenarnya, kenaikan yang terjadi itu bukan kenaikan gaji/tunjangan murni, ini cuma hasil kompensasi.
Masalahnya clear, untuk nge-budget tunjangan ini kan jadi spending uang, daripada nempatin bangunan yang udah jadi, yang mana udah tangible alias udah berwujud itu barang, udah dispending duluan jaman dulu untuk pembangunan itu, dan ini bernilai juga asetnya, kan. Jadinya, polemik ini berimplikasi ke budgeting lagi, jadi beban lagi, di mana harus generate budget baru lagi dari pagu-nya DPR ke Kementrian Keuangan. Padahal sekarang Kemenkeu juga lagi butuh penghematan.
Dalam Kapasitas gue, apa iya, di sistem budgeting governance DPR RI ini nggak ada budgetary add-on, ya semacam anomaly detection yang konteksnya sesuai sama prioritas budget saat ini? Semacam layer untuk "check and balance" and "risk analysis", gitu lho maksudnya.
Jadi, opini gue, kenapa nggak paksa aja para anggota DPR pake rumah dinasnya, sayang juga nggak kepake, kan. Dan itu tanpa terkecuali.
Ini yang ngebuat adanya demo besar-besaran gara-gara DPR yang dinilai dan keliatan terlalu serakah, padahal ekonomi lagi susah. Sampe ada tagar "Bubarkan DPR", nah tapi komunikasi ini dikomentarin sama pion-pion DPR yang gue juga nggak akan sebut namanya satu-satu. Intinya ada pola dan framework komunikasi yang tidak konstruktif dan buruk sehingga menimbulkan komplikasi, diliput beberapa media, dan boom...
Negative sentiments are everywhere. Negative Echo Chambers were generated.
And we are totally cooked.
Siapa aja yang demo
Pertama, gue turut berduka cita untuk para korban jiwa, semoga amal ibadah diterima di sisi-Nya, keluarga yang ditinggalkan diberi keikhlasan atas kepergiannya dan mendapatkan perlindungan dan bantuan yang layak. Aamiin.
- Yang demo: Mahasiswa, driver ojol, buruh, emak-emak
- Yang jadi sasaran: DPR, polisi, pemerintah Prabowo
- Yang jadi korban: Affan Kurniawan (driver ojol umur 21) sama 7 orang lain tewas
Sebenernya dari Aksi yang awalnya terjadi normal-normal aja mulai 25 Agustus 2025, namun beberapa hari kemudian ada komplikasi yang terjadi, khususnya memuncak tanggal 28 Agustus pas Affan tewas kena lindas barracuda polisi. Entah gue nggak tau gimana SOP polisi, tapi, kayanya nggak normal kalo Polisi overreact pake kendaraan tempur, sampe TNI turun juga. Setau gue dulu jadi Mahasiswa, demo itu emang dibolehin sampe jam 6 sore, dan harus pulang. Mungkin itu juga ada kaitannya dengan Massa yang rusuh pas lewat jam yang disediakan, bakar beberapa fasilitas, akhirnya jadi chaos. Tapi gue yakin, orang Aksi yang normal nggak akan berbuat seperti ini, jadinya ada beberapa Kelompok lain yang join juga, dengan agenda berbeda.

Jakarta jadi epicenter, tetapi nyebar ke 37 kota di seluruh Indonesia. Gedung DPR, kantor pemda, rumah pejabat jadi sasaran massa. Dan korban jiwa juga bertambah di berbagai wilayah.
Parahnya lagi, ada pula aksi looting, alias penjarahan, terutama di beberapa Rumah anggota DPR yang memiliki komunikasi yang buruk.

Gambar di atas salah satunya, tapi sialnya, Rumah Ibu Sri Mulyani, Kemenkeu kita satu ini juga kena looting.

Bahas Tipis-tipis: Apakah Naikin Gaji DPR Bisa Kurangi Korupsi?
Kalau gue telisik lebih dalam lagi, sebenernya apakah berpengaruh ya, misalnya ada kenaikan gaji dari anggota Dewan dengan tingkat korupsinya? Gue dapet paper bagus dari penelitian cross-country yang menganalisis data 129 negara selama 10 tahun. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0161893817300194
Intinya gini,
Riset ini berbicara bahwa naikin gaji pemerintah memang bisa mengurangi korupsi, tapi nilainya bisa dibilang receh. Per satu unit kenaikan gaji (sebesar rata-rata upah manufaktur tiap negara masing-masing), tingkat korupsi cuma turun 0.26 unit. Artinya buat ngurangin korupsi secara signifikan, negara idealnya harus naikin gaji tujuh kali lipat. Jadi ada statement di papernya: "solely relying on increasing government wages to reduce corruption can be very costly."
Nah, masalahnya dengan kasus DPR Indonesia:
Pertama, mereka udah digaji tinggi, 10-20 kali UMP sebelum dapat tunjangan perumahan. Riset menunjukkan strategi ini paling efektif buat negara dengan "relatively low government wage," tapi DPR Indonesia udah jauh di atas threshold itu.
Kedua, ini bukan kenaikan gaji murni tapi pengganti fasilitas rumah dinas. Jadi secara teoritis, sebenernya ada efek anti-korupsinya karena ada konversi aset jadi allowance.
Ketiga, cost-effectiveness gak make sense. Penelitian bilang strategi ini "very costly," padahal DPR milih opsi yang 36 kali lebih mahal dari maintenance rumah dinas (Rp 1.7 triliun vs Rp 48 miliar).
Gue mau kasih Contoh di negara tetangga: Singapore
Singapore melakukan pendekatan yang holistik, bukan cuma naikin gaji doang. Mereka bayar menterinya $1+ juta per tahun (tertinggi di dunia), tapi dibarengi dengan sistem yang ketat: CPIB (badan anti korupsi) ada framework tersendiri untuk lapor langsung ke PM, zero tolerance tanpa statute of limitations, dan ada semacam "shame culture" yang kuat. Kalau ada korupsi gampang aja ngehakiminya, toh jumlah penduduknya cuma setengah penduduk jakarta, Hasilnya: CPI score 85/100, ranking 4 dunia.
Ada lagi contoh yang lebih jauh, Estonia. Negara ini pake pendekatan teknologi, namanya e-estonia (https://e-estonia.com/), jadi 99% layanan publik online, blockchain untuk semua transaksi pemerintah, digital ID untuk semua warga. Mereka tidak mengandalkan gaji tinggi, tapi eliminasi kontak manusia yang bisa korupsi. Birokrasi semua dipangkas, hemat waktu. Cost-nya jauh lebih murah, hasilnya CPI score 76/100, ranking 13 dunia.
Menariknya, bahkan di China yang terkenal dengan hukuman berat termasuk hukuman mati untuk korupsi, penelitian game theory yang gue baca dari JSTOR: https://www.jstor.org/stable/23462215?read-now=1&seq=1#page_scan_tab_contents dan menemukan bahwa hukuman berat malah bisa counterproductive, ini jadi kontras sama 2 negara sebelumnya (singapore, estonia). Penelitian ini menunjukkan bahwa "hanya meningkatkan hukuman secara berlawanan intuisi dapat menurunkan frekuensi investigasi korupsi, bukan frekuensi korupsi itu sendiri."
Jadi dari tiga pendekatan ini: gaji tinggi (Singapore), teknologi (Estonia), dan hukuman berat (China) yang paling efektif ternyata kombinasi insentif positif dan sistem yang kuat, bukan sekadar mengandalkan ancaman. Indonesia mesti punya kreativitas untuk bisa adaptasi skema-skema yang relevan dari ketiga model ini.
Game theory ngasih tau kita hal yang lebih masuk akal: (1) kasih insentif yang proper buat yang nyidik/penegak hukum, (2) bikin sistem reward buat yang anti-korupsi, dan (3) pastiin ada cukup pejabat yang emang bener-bener berintegritas. Nah ini yang bikin pendekatan holistik kayak Singapura sama Estonia jauh lebih ngena daripada cuma ngandelin ancaman hukuman doang.
Kembali lagi ke tabiat manusia, kalau dari buku Adam Smith "The Wealth of Nations" dengan konsep Invisible Hand-nya, manusia itu pada dasarnya makhluk insentif. Gue belajar ini dari kuliah Ekonomi Ibu Sri Mulyani di FEB UI dulu. Kadang kebaikan (termasuk permintaan-penawaran) akan datang kalau ada sistem kolektif yang ujungnya ada insentifnya.
Jadi intinya, kalau gue berbiaca secara akademis, DPR dan Pemerintah Indo mengambil strategi anti-korupsi yang udah terbukti mahal, nggak ngangkat dan low-impact. Kausalitasnya cenderung salah arah, dan gue pikir inilah saatnya kita harus berpegang dengan merit-based dan assessment di dalam penerimaan anggota badan legislatif.
Solusi & Rekomendasi: 3-9
3 / 09 / 2025
Mungkin section-section sebelumnya gue membahas dari sisi atau perspektif ekonomi-akademis. Tapi sekarang pendekatan gue akan condong ke aspek political economy. Di kuliahan dulu, gue pernah Belajar policy brief and analysis, dan itu juga sesuai dengan kapasitas gue sekarang yaitu Tech Professional, jadi akan gue breakdown dan disisipkan juga dari sisi tech di proposal ini.

3 Point Dalam 30 Hari:
- Batalkan housing allowance
- Implementasi model hybrid: maintenance rumah dinas + allowance targeted untuk 180 anggota yang kekurangan housing
- Paksa semua anggota DPR gunakan fasilitas negara yang sudah tersedia, tanpa pengecualian
- Hemat Rp 1.137 triliun (65.9% lebih murah dari skema full-allowance)
- E-governance transparan
- Publikasi real-time semua pengeluaran DPR >Rp 100 juta selama 24/7
- Dashboard untuk "masyarakat" dengan data searchable dan downloadable, pake fitur AI untuk bisa detect anomali dan suspicious spending patterns
- API terbuka untuk media dan civil society monitoring
- Digitalisasi asset disclosure
- Deklarasi kekayaan semua legislator online dengan verifikasi blockchain
- Include aset keluarga, kepentingan bisnis, dan hubungan finansial
- Update mandatory setiap 6 bulan, kalau tidak dijalankan ada penalty sanksi yang berat
Reformasi Penuh, 3 Point Dalam 1-2 Tahun:
- Transparansi dengan Performance-based Indicator yang jelas di Legislatif
- Voting record, attendance rate, bill sponsorship semua public dengan AI-suggested scoring system
- Live streaming semua sidang dengan transcript searchable
- Annual report card untuk setiap anggota dengan metrics yang terukur, kalau bisa pake AI juga untuk summary dan wrap up dalam 1 tahun, apakah ada produktivitas yang diharapkan, seperti halnya KPI dalam framework korporasi
- Penguatan oversight independen dengan proteksi konstitusional
- KPK dan Ombudsman tidak bisa diintervensi legislatif atau eksekutif
- Budget allocation yang terlindungi dari political interference
- Appointment process yang melibatkan civil society dan akademisi
- Sahkan UU Perampasan Asset, dan Implementasi Asset recovery enforcement dengan digital tracking
- Penyitaan aset wajib untuk kasus korupsi >Rp 1 miliar dengan sistem AI pelacak aset lintas yurisdiksi
- Kerja sama internasional untuk pemulihan aset offshore
- Database terintegrasi untuk monitoring real-time pergerakan aset tersangka korupsi
Transformasi Sistemik, 3 Point Dalam 3-5 Tahun:
- Electoral reform berbasis competency/merit
- Campaign finance reform dengan spending limits dan public financing options
- Rekrutmen kompetitif dengan tes standar nasional, bukan berdasarkan koneksi
- Minimum qualification requirements untuk legislative candidate dengan Minimum Degree Study, e.g. S2/Master
- Anti-nepotisme enforcement: 2 degree separation rule untuk posisi publik
- Technology-enabled governance seperti Estonia
- 99% layanan publik online untuk eliminasi human discretion
- Blockchain verification untuk semua transaksi pemerintah >Rp 50 juta
- Digital ID system (sekarang ada digital KTP kan, ya) untuk semua warga dengan e-voting capabilities
- Amandemen konstitusi untuk checks and balances
- Perampasan aset wajib untuk semua kasus korupsi tanpa batas waktu kadaluwarsa
- Pembatasan masa jabatan untuk seluruh posisi kepemimpinan
- Penguatan pemisahan kekuasaan dengan perlindungan independensi yudikatif
Semua ini berdasarkan evidence dari comparative analysis Singapore-Estonia dan cost-benefit calculation yang udah kita bahas sebelumnya. Bukan cuma surface level thinking, tapi lebih ke actionable policy dengan precedent internasional.
Other Movement?
Gue nggak akan membahas other movements yang hari ini lagi rame di sosial media, karena di sini dengan kapasitas yang ada, gue coba memberikan perspektif yang berbeda. Dan gue selalu memberikan respect apabila ada visi/misi yang relevan. Tapi gue lebih percaya sama believe gue sendiri kalau point 3-9 section sebelumnya itu udan ngecover solusi yang konkrit, dan nggak cuma surface-level aja.
Harapan tetap ada, tapi bukan harapan kosong. Gue berani punya pikiran beda yang bisa jadi addition buat semua pemikiran yang ada existing di social media.
Final Thoughts
Di penghujung tulisan ini, gue mau tekankan bahwa masalah DPR bukan cuma soal angka Rp 1,7 triliun. Ini soal bagaimana kita sebagai bangsa mau mendefinisikan ulang kontrak sosial antara rakyat dan wakilnya.
Affan Kurniawan dan korban lainnya tidak mati sia-sia kalau momentum ini bisa jadi turning point untuk reformasi sistemik yang sesungguhnya. Bukan sekadar demo, lalu lupa, lalu business as usual lagi.
Solusi 3-9 yang gue tawarkan mungkin kedengarannya idealis, tapi semua berbasis evidensi dan precedent internasional. Perubahan sistemik butuh waktu, tapi kalau kita mulai sekarang dengan roadmap yang jelas, Indonesia 2030 bisa jadi negara dengan governance yang jauh lebih baik. Dan apa hasilnya? Iklim ekonomi dan investasi jadi makin subur, nggak kaya sekarang carut-marut, apalagi karena kasus E-Fishery, kambing-lah.
Terakhir,
Kita semua punya pilihan.
Best,
Fin
